Di zaman Rasulullah SAW ada seorang janda cantik yang ditinggal mati suaminya. Namanya Rumaysha binti Milhan an-Najjariyyah, yang biasa dipanggil dengan sebutan Ummu Sulaim. Anda masih ingat dengan Anas RA, yang senantiasa melayani keperluan Rasulullah SAW ? Ya, Anas adalah anak Ummu Sulaim.
Ketika tersebar berita bahwa Ummu Sulaim menjadi janda, banyak lelaki ingin bersanding hidup dengannya. Lelaki mana yang tidak mendambakan wanita seperti Ummu Sulaim? Ummu Sulaim adalah tipe wanita yang memiliki inner-beauty : bukan hanya cantik wajahnya, namun baik pula perilakunya dan cerdas pula akalnya.
Salah satu lelaki yang berhasrat dengan Ummu Sulaim adalah Zayd bin Sahl an-Najjari, yang biasa dipanggil dengan sebutan Abu Thalhah. Abu Thalhah adalah seorang lelaki terhormat, gentle, dan kaya. Dengan kelebihannya itu ia berniat melamar Ummu Sulaim, dan ia yakin tidak akan ada lelaki lain yang bisa mengungguli kelebihannya itu.
Maka, berangkatlah Abu Thalhah menuju rumah Ummu Sulaim.
Dalam perjalanan, Abu Thalhah teringat bahwa Ummu Sulaim sudah mengikuti agama Muhammad (masuk Islam) berkat dakwah Mush‘ab bin Umayr. ‘Tapi, apa urusannya denganku? Bukankah mantan suaminya mati dalam keadaan mengikuti agama nenek moyangnya, tidak masuk Islam?’, begitu kata hati Abu Thalhah. Maklum, Abu Thalhah adalah seorang non-Muslim.
Ketika Abu Thalhah sampai di depan rumah Ummu Sulaim, ia minta izin untuk dibukakan pintu. Ia dizinkan masuk. Saat itu, di dalam rumah Ummu Sulaim, ada Anas. Maka, tanpa basa-basi panjang, Abu Thalhah mengutarakan maksud kedatangannya.
Setelah mendengar maksud kedatangan Abu Thalhah, Ummu Sulaim berkata, ‘Wahai Abu Thalhah, orang sepertimu tidak akan ditolak lamarannya. Tapi, saya tidak bersedia kawin denganmu, karena engkau masih kafir’.
Mendengar jawaban Ummu Sulaim, Abu Thalhah menduga bahwa Ummu Sulaim hanya ‘cari-cari alasan’ saja, padahal ia tahu bahwa Abu Thalhah adalah lelaki kaya dan disegani masyarakat.
Abu Thalhah berkata, ‘Wahai Ummu Sulaim, apakah ini yang membuatmu menolak lamaranku ?’.
Ummu Sulaim berkata, ‘Memangnya apa, kalau begitu?’.
‘Yang kuning dan putih… emas dan perak…’, jawab Abu Thalhah sambil memperlihatkan barang-barang tersebut.
‘Maksudmu, emas dan perak ?’, kata Ummu Sulaim.
‘Ya’, jawab Abu Thalhah.
Ummu Sulaim berkata, ‘Bukan itu… bukan itu… Wahai Abu Thalhah, sungguh aku bersaksi kepadamu dan bersaksi kepada Allah dan Rasul-Nya, seandainya engkau mau masuk Islam maka aku rela menjadi istrimu, tanpa perlu engkau beri emas dan perak. Jika engkau masuk Islam, maka itulah maharku untukmu’.
Ummu Sulaim tahu bahwa selama ini Abu Thalhah menyimpan berhala di rumahnya, yang terbuat dari kayu antik. Setiap hari Abu Thalhah menyembah berhala ini, sebagaimana dilakukan oleh para pembesar lainnya. Ummu Sulaim menggunakan kesempatan baik ini untuk mengajak Abu Thalhah masuk Islam.
Lalu Ummu Sulaim berkata, ‘Wahai Abu Thalhah, bukankah engkau tahu bahwa Tuhanmu yang engkau sembah selama ini adalah sesuatu yang tumbuh di atas bumi ?’
‘Tentu saja aku tahu’, jawab Abu Thalhah.
Ummu Sulaim berkata, ‘Apakah engkau tidak merasa bahwa tuhan yang selama ini engkau sembah dijadikan kayu bakar oleh orang lain, yang apinya dipakai untuk menghangatkan badan atau untuk membuat roti ? Wahai Abu Thalhah, kalau engkau bersedia masuk Islam, maka aku rela menjadi istrimu. Aku tidak membutuhkan mahar lain selain engkau masuk Islam’.
‘Siapa yang akan menuntun aku masuk Islam?’, tanya Abu Thalhah.
‘Aku yang akan menuntunmu’, jawab Ummu Sulaim.
‘Bagaimana caranya?’, tanya Abu Thalhah penasaran.
Ummu Sulaim berkata, ‘Mudah saja. Engkau cukup mengatakan kalimat engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Setelah itu, engkau pulang ke rumahmu, engkau hancurkan semua berhala yang ada di rumahmu, lalu engkau lemparkan semuanya keluar’.
Mendengar opsi yang ditawarkan Ummu Sulaim, maka Abu Thalhah senang bukan kepalang. Lalu ia berkata, ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya’.
Abu Thalhah mengucapkan syahadat. Ia masuk Islam.
Lalu, sesuai dengan syarat yang ditawarkan Ummu Sulaim, ia mengawini Ummu Sulaim. Sejak saat itu, Abu Thalhah menjadi orang yang ber-khidmat untuk agama Islam.
Kisah lamaran Abu Thalhah kepada Ummu Sulaim menjadi buah-bibir. Sampai-sampai banyak orang berkata, ‘Tidak pernah kami dengar ada mahar yang lebih mulia dibanding maharnya Ummu Sulaim, karena maharnya adalah Islam’.
Rumah tangga yang dijalani Ummu Sulaim dan Abu Thalhah adalah rumah tangga yang penuh keberkahan.
Ummu Sulaim bukan hanya cantik dan cerdas, namun ia wanita pemberani. Tercatat ia pernah ikut perang Hunayn dan Uhud. Dua perang ini adalah perang besar.
Pada saat perang Hunayn, senjata Ummu Sulaim adalah pisau belati. Bermaksud menggoda Ummu Sulaim, Abu Thalhah, sang suami, melapor kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah, Ummu Sulaim mau ikut perang juga, tapi senjatanya pisau belati doang’.
Ummu Sulaim menimpali gurauan suaminya, ‘Wahai Rasulullah, jika ada orang kafir mendekatiku, maka aku robek perutnya dengan pisau ini’.
Itulah Ummu Sulaim…
Anas (anaknya Ummu Sulaim) pernah berkata, ‘Rasulullah SAW tidak pernah qaylulah (tidur siang) di beranda rumah orang lain, kecuali di beranda rumah Ummu Sulaim. Jika beliau ditanya alasannya, beliau menjawab, ‘Sesungguhnya aku menaruh perhatian padanya, karena saudaranya terbunuh waktu ikut perang bersamaku’.
Saudara Ummu Sulaim yang dimaksud Rasulullah SAW adalah Haram bin Milhan, yang tidak lain adalah pamannya Anas.
Qaylulah adalah tradisi orang Arab saat itu. Sebelum datang waktu Zuhur, orang Arab bangun dari qaylulah-nya. Jadi, qaylulah hanya beberapa saat saja. Paling banter sekitar 1 jam lebih sedikit.
Abu Thalhah, Ummu Sulaim, dan Anas nampaknya adalah sebuah keluarga yang disukai Rasulullah SAW. Bisa jadi, karena sifat mereka yang polos, tidak berpura-pura, dan ekspresi cintanya kepada Rasulullah SAW tidak dibuat-buat.
Suatu hari, anak Ummu Sulaim sakit dan akhirnya meninggal dunia. Pada saat itu, Abu Thalhah sedang keluar rumah. Ketika Ummu Sulaim melihat bahwa anaknya sudah meninggal, ia segera mengurusnya (memandikan dan mengafaninya) dan membaringkannya di sebuah sudut rumahnya. Ketika Abu Thalhah datang, Ummu Sulaim menyambut sang suami dengan sukacita. Ia menyiapkan makan malam untuk suaminya. Sambil dinner bersama, sang suami bertanya, ‘Bagaimana kabar si buyung, anak kita?’ Ummu Sulaim menjawab, ‘Ia sudah tenang dan aku berharap ia menemukan kedamaian’. Mendengar jawaban Ummu Sulaim, Abu Thalhah menjadi tenang. Ia berpikir bahwa anaknya sudah sembuh dari sakitnya. Padahal…
Subhanallah… Inilah kehebatan Ummu Sulaim. Ketika suaminya pulang ke rumah dalam keadaan lelah dengan segala kepenatan yang dialaminya di luar rumah, Ummu Sulaim tidak mau membebani pikiran suaminya dengan kematian anaknya. Ia memberikan waktu kepada sang suami untuk mengistirahatkan fisik dan mentalnya.
Bukan hanya itu. Bahkan, ia memberikan ‘pelayanan prima’ kepada suaminya malam itu. Dahsyat!
Itulah Ummu Sulaim…
Lalu, Ummu Sulaim mengajak suaminya ‘tidur’. Pada waktu menjelang fajar, Abu Thalhah bangun dan mandi. Ketika ia bersiap untuk pergi menuju masjid, Ummu Sulaim memberitahu bahwa anaknya telah meninggal. Lalu, Abu Thalhah berangkat menuju masjid untuk shalat shubuh bersama Rasulullah SAW. Usai shalat shubuh berjamaah, Abu Thalhah memberitahu Rasulullah SAW. Apa yang telah terjadi pada anaknya dan bagaimana sikap Ummu Sulaim terhadapnya. Mendengar informasi Abu Thalhah, Rasulullah bersabda, ‘Semoga Allah memberkahi kalian berdua pada malam di mana kalian tidur-bersama’.
Doa Rasulullah tentu saja maqbul. Tak lama kemudian, Ummu Sulaim hamil. Pada suatu malam, ia melahirkan bayi yang dikandungnya. Ummu Sulaim dan Anas membawa bayi itu ke hadapan Rasulullah. Lalu Anas berkata, ‘Wahai Rasulullah, Ummu Sulaim melahirkan anak kemarin malam’. Lalu Rasulullah mengambil beberapa buah kurma Ajwah. Beliau mengunyah-ngunyah kurma itu lalu memasukkannya ke mulut sang bayi.
‘Tolong sekalian beri nama, wahai Rasulullah’, kata Anas. Lalu Rasulullah berkata, ‘Aku namakan ia Abdullah’.
Selama berumah tangga, Abu Thalhah dan Ummu Sulaim dikaruniai 9 anak laki-laki.
Lalu, apa yang istimewa dari anak-anak mereka ? Yang istimewa adalah: semuanya hafal Al-Quran!
Subhanallah…
Suatu hari, Anas mendengar Rasulullah berkata, ‘Di saat aku masuk surga, aku mendengar suara langkah kaki seperti langkah anak rusa. Ternyata, itu adalah langkahnya Ghumaysha’.
Siapakah Ghumaysha yang dimaksud Rasulullah? Ghumaysha adalah Rumaysha, yang tidak lain adalah Ummu Sulaim. Dalam banyak keterangan, nama asli Ummu Sulaim kadang ditulis Rumaysha, kadang ditulis Ghumaysha.
Ummu Sulaim adalah wanita yang hatinya penuh cinta. Ia tunjukkan cintanya kepada Rasulullah dan Islam. Ia lakukan yang terbaik untuk sang suami, anak-anaknya, dan keluarganya. Pantaslah, kalau surga adalah bonus terbaik untuknya.
Ternyata, Ummu Sulaim bukan sekedar janda. Ummu Sulaim adalah singa yang berhati lembut…